![]() |
| danikaizen.blogspot.com |
Sudah tiga semester aku
berada dalam naungan kampus ini. Kampus yang katanya adalah kampus terbaik di
indonesia, kampus terbesar, kampus kerakyatan, dan sebutan lainnya yang
menunjukan hebat-hebatnya kampus ini. Kampus yang menjadi kawah candradimuka
bagi orang orang hebat di negeri ini, kampus Universitas Gadjah Mada. Mungkin
bagi kalian yang tidak begitu memahami apa arti dari menjadi seorang mahasiswa
Gadjah Mada, akan membayangkan, bahwa untuk ikut serta dalam hingar bingar
dunia perkuliahan di kampus ini sangatlah sulit, bahwa kalian sudah mencap
bahwa setiap orang yang mampu berada disini adalah orang orang yang
kecerdasannya tidak dapat diremehkan. Ya, walaupun sebenarnya memang begitulah
realitanya, bahwa untuk masuk ke kampus ini, paling tidak kalian harus
mengalahkan 100 pesaing, yang juga ingin masuk ke kampus ini.
Hitung-hitungan seperti
itu, membuat banyak orang yang memiliki pandangan berlebihan terhadap perguruan
ini. Begitu besar, sehingga bahkan untuk sebagian orang, sekedar membayangkan
untuk bisa masuk ke dalam euforia pendidikan tinggi disini saja sudah sulit.
Walaupun memang begitulah realitanya. Karena tiap tahunnya ratusan ribu siswa
SMA brsaing untuk melanjutkan studi di
kampus ini, dan hanya sekitar 9 ribu yang akan diterima. Pernah suatu
ketika, kami mengikuti sebuah pelatihan, dan sang trainner mengatakan sebuah
statement yang cukup mengena dihati saya, bahwa “setiap orang yang pernah masuk
UGM, pasti akan dicap pintar oleh lingkungannya, bahkan setelah dia lulus,
kerja, dan tua”. Ruangan pun riuh menanggapi statement bapak tersebut. Namun
anggapan itu tidaklah naif, bahwa memang bagi sebagian orang, untuk masuk dan
menimba ilmu sebagai mahasiswa di sini adalah impian belaka.
Anggapan tersebut tidak
sepenuhnya benar dan tidak pula sepenuhnya salah. Karena setidaknya ada tiga
syarat mutlak untuk masuk ke perguruan tinggi ini, yaitu pintar , uang, dan
daya juang. Syarat pertama bermakna bahwa untuk masuk ke perguruan ini, maka
diperlukan kemampuan orak yang brilian. Sebagai syarat pertama, hal ini mutlak
dipenuhi. Untuk bisa masuk ke perguruan ini, seseorang dihadapkan pada seleksi
yang sangat ketat, dengan saingan puluhan ribu orang. Sehingga, apabila kita
mampu lolos dari seleksi ini, maka kapabilitas diri untuk mengikuti kegiatan
perkuliahan di kampus ini akan diakui. Syarat ini tetap mutlak dipenuhi,
walaupun jika kita menengok realita sekarang, bahwa untuk dalam tes-tes masuk
perguruan tinggi saat ini, banyak sekali calo-calo SNMPTN. Bahkan dengan sistem
baru, yang 100 persen adalah Penjaringan bibit unggul berprestasi dengan
mengedepankan rataan nilai rapor sebagai parameter utama seleksi. Kasarnya
saja, bahwa pihak perguruan tinggi tidak pernah mengawasi kegiatan pembelajaran
di Sekolah menengah, namun berani menjadikan nilai rapor sebagai parameter.
Memang dengan sistem ini, penjaringan bibit akan lebih merata, karena tidak
lagi didominasi oleh sekolah sekolah favorit yang memiliki fasilitas yang lebih
baik dibandingkan dengan sekolah sekolah pinggiran. Namun sekali lagi, sistem
ini tidak akan menjamin bahwa siswa yang didapat dari seleksi ini adalah siswa
terbaik, karena untuk sebuah nilai tujuh, akan dihargai sama untuk semua
sekolah, terlepas dari perbedaan fasilitas, kualitas soal, dan bobot penilaian.
Namun,, bagaimanapun juga syarat pertama ini tetap harus dipenuhi. Setidaknya,
orang yang merasa mampu menggunakan calo seperti uraian diatas, ataupun mereka
yang kemampuan akademis nya tidak terlalu baik, namun beruntung mampu melewati
seleksi jalur undangan, harus berusaha untuk “memintarkan” diri mereka sendri.
Karena, tanpa otak yang brilian, kelancaran proses perkulihan mereka juga akan
terhambat.
Syarat kedua, yang juga
merupakan syarat mutlak untuk masuk ke perguruan tinggi ini adalah uang. Tidak
dapat dipungkiri lagi, bahwa biaya adalah komponen penting dalam pendidikan,
seperti kata pepatah jawa, “Jer Basuki
Mawa Bea” , untuk mendapat pendidikan yang berkualitas diperlukan pula
biaya yang tidak sedikit. Dan seperti itulah yang terjadi disini. Kita tidak
bisa menganggap bahwa biaya kuliah itu tidak boleh mahal, karena memang fasilitas
yang diberikan memang sepadan dengan biaya yang harus dikeluarkan. Gedung
megah, ruangan kondusif, ber AC, sarana pengembangan diri yang berkualitas, dan
tentunya dosen dosen terbaik lulusan berbagai perguruan tinggi grade A dari
berbagai penjuru dunia. Pendapat tersebut, saya simpulkan 100 Persen benar,
bahwa biaya yang harus dikeluarkan untuk menempuh jenjang pendidiikan tinggi
memang tidak sedikit, tak terkecuali di UGM. Namun, hal ini dapat disiasati
dengan mencari berbagai peluang yang memungkinkan kita untuk dapat kuliah
dengan murah. Bukan murah dalam artian sebenarnya, namun murah karena bukan
kita yang menanggung mahalnya biaya pendidikan di perguruan tinggi, namun pihak
lainlah yang menenggungnya
Terdapat berbagai
peluang yang dapat kita ambil sebagai alternatif solusi pembayaran biaya kuliah
yang relatif mahal. Di berbagai perguruan tinggi, khususnya perguruan tinggi
negeri terdapat banyak sekali kamungkinan mencari bantuan pendidikan, atau
biasa disebut Beasiswa. Di UGM sendiri, total dana yang dikelola sebagai sumber
beasiswa mencapai 40 Milyar lebih, yang diberikan kepada lebih dari 10 ribu
mahasiswa dari berbagai angkatan. Beasiswa disalurkan melalui berbagai
mekanisme, antara lain melalui seleksi langsung, beasiswa prestasi, hingga
pemotongan nomonal sumbangan peningkatan mutu akademik mahasiswa baru. Sampai
disini, syarat kedua tetap benar, namun ada jalan yang sangat lebar untuk
mensiasati syarat tersebut. Sehingga,
sampai pada titik ini, paling ada dua jalan yang dapat ditempuh seseorang yang ingin
masuk dan mengikuti pendidikan tinggi di kampus
ini, yang pertama adalah, seseorang harus pintar agar mampu melawati
seleksi, serta seseorang harus kaya, agar mampu membayar biaya pendidikan yang
relatif mahal di kampus ini. Atau yang kedua, seseorang boleh miskin, namun dia
harus pintar. Karena dengan kepintarannya, dia dapat lolos seleksi masuk, dan
dengan kepintarannya pula lah, dia dapat mengikuti seleksi beasiswa, lalu
mendapatkannya. Sehingga mahalnya biaya kuliah yang harus dia tanggung dapat
terpenuhi dengan beasiswa yang dia peroleh.
Dan sampai pada syarat
ketiga, yaitu daya juang. Daya juang disini bukan hanya berorientasi para
proses perkuliahan saja, namun ketahanan seseorang untuk tetap survive di
kampus ini juga dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal. Bahwa kehidupan
kampus adalah model paling realistis dari kehidupan bermasyarakat yang
sebenarnya. Semua orang dianggap sudah dewasa sesuai dengan usianya, kita benar-benar
dibebaskan untuk memilih jalan mana yang akan kita tempuh. Dan di dunia ini
pula lah, semua jalan itu tersedia, dengan berbagai pernak pernik yang
menggoda, membuat orang yang tak kuat hatinya bisa terjerumus. Selain itu,
syarat pertama dan kedua yang kiranya telah teratasi, dapat menjadi hal yang
sia sia jika kita gagal pada syarat yang ketiga. Bisa dibilang, syarat yang
ketiga adalah syarat paling berat, yang akan terus mengancam dan membayangi
kita hingga kita selesai menempuh pendidikan tinggi.
Mungkin kita pernah
mendengar, kasus pelaku terror yang merupakan mahasiswa kampus “X”, atau
hilangnya seorang mahasiswi fakultas “K” yang disinyalir terkait dengan
organisasi terlarang, atau yang paling sering kita dengar, maraknya kasus drop
out mahasiswa, karena berbagai sebab. Kasus-kasus tersebut merupakan contoh
akibat dari rendahnya ketahanan mahasiswa terhadap lingkungan kampus yang terlampau
bebas. Mahasiswa seolah lepas dari cengkraman aturan dan norma norma yang
dulunya membelenggu. Status dewasa yang disandang seolah menjadi pembenaran
atas pilihan pilihan gegabah mereka. Kasus terosis “X”, mahasiswi “K”, dan drop
out adalah representasi dari kegagalan manajemen diri, karena kurangnya
ketahanan dan daya jang mahasiswa tersebut.
Kasus
teroris “X” mungkin adalah akibat dari kurangnya management diri, serta
pengetahuan yang minim tentang ilmu agama, begitu pula dengan mahasiswi “Y”. Kasus
Drop Out pada dasarnya adalah kegagalan mahasiswa itu sendiri. Kita tidak bisa
menyebut mahasiswa yang DO itu merupakan mahasiswa yang bodoh. Karena kembali
ke syarat awal tadi, untuk masuk saja harus melewati seleksi yang sangat ketat
dengan saingan ratusan bahkan ribuan orang. Jadi, saya pribadi yakin, bahwa
siapa yang mampu masuk kesini, sudah memiliki modal yang cukup dan relatif sama
satu sama lain, sehingga tinggal bagaimana yang bersangkutan mengelola modal
tersebut. Bisa jadi, orang yang dulunya pintar di SMA, kuliahnya terganggu
karena hambatan adaptasi dengan sistem pembelajaran di perguruan tinggi yang
jauh berbeda dengan saat SMA. Bisa jadi pula, orang yang dulunya pintar di SMA,
kuliahnya terganggu karena seakan dia menemukan kebebasan yang tidak dia dapat
sebelumnya. Ada pula, orang yang dulunya pintar di SMA, kuliahnya terganggu
karena ketidakseimbangan antra akademik dan kegiatan di luar akademik, aktif
dimana mana, namun lupa akan tujuan awalnya, yaitu mengikuti proses perkuliahan
dengan baik, segera lulus dengan hasil bagus sehingga segera mampu meringankan
tanggungan pribadi dan keluarga. Disamping contoh contoh tersebut, tentunya ada
contoh yang baik. Orang yang dulunya pintar di SMA, tetap pintar setelah
memasuki bangku perkuliahan, bahkan ada pula yang dulunya biasa-biasa saja,
namun ketika sudah masuk di bangku perkuliahan menjadi anak yang brilian,
dengan kemampuan softskill, hardskill, dan emosi yang sama baiknya. Yang
membedakan antara kasus-kasus tersebut adalah kematangan serta kesadaran akan
tujuan awal. Dari situ akan di peroleh kiat-kiat, yang mampu menyeimbangkan
antara kebutuhan diri dan tujuan awal serta menumbuhkan motivasi. Dan pada
akhirnya berimbas pada ketahanan diri, serta daya juang, untuk tetap survive
dan berhasil dalam proses yang dijalani di kampus ini.
Uraian
diatas menjelaskan tentang syarat syarat mutlak yang harus dimiliki seseorang
untuk mampu masuk, belajar, dan berhasil dalam proses di Kampus ini. Dari
pemaparan tersebut, nampak bahwa memang ketiga syarat tersebut, yaitu pintar,
uang, dan daya juang mutlak harus dimiliki oleh seseorang yang ingin berhasil
pada jenjang ini. Namun ada beberapa alternatif yang dapat digunakan agar kita
tetap dapat berhasil. Pintar tetap menjadi syarat mutlak. Sedangkan untuk
menjadi pintar, hal tersebut dapat di peroleh dalam suatu proses. Orang yang
tidak pintar, dapat menjadi pintar dengan belajar lebih giat dan tekun. Begitu pula
dengan uang. Uang tetap menjadi syarat mutlak, namun dengan kepintaran yang
sudah dimiliki, serta telah menjadi syarat pertama, kita dapat mencari
alternatif pembiayaan lain seperti dengan mencari beasiswa, atau dengan ber wirausaha,
dengan kemampuan otak kita, kita mampu menghasilkan uang. Dari kedua syarat
diatas, hubungan yang diperoleh adalah sebagai berikut. Yang pertama : Pintar,
Kaya. Hal tersebut sudah jelas merupakan modal yang sangat cukup. Yang kedua :
Kaya, Tidak Pintar Lalu menjadi pintar dengan belajar. Yang ketiga : Pintar,
Tidak Kaya, bisa mencari beasiswa. Yang keempat : Tidak Kaya, Tidak Pintar lalu
menjadi pintar dengan belajar, bisa mencari beasiswa. Ke empat hubungan
tersebut di urutkan mulai dari yang paling ringan hingga paling berat tantangan
nya. Dengan tujuan yang sama, yaitu memperoleh kesempatan mengecap pendidikan
tinggi, tentulah orang yang kaya lagi pintar, tantangannya jauh lebih ringan
dibandingkan orang yang tidak kaya serta otaknya pas pasan. Dari sini, tekat
sudah mulai berbicara. Dan tekat adalah bagian dari daya juang, yang merupakan
syarat paling utama, yang kadarnya sama antara si kaya, si miskin, si pintar,
dan si tidak pintar.
Pendidikan tinggi
agaknya merupakan sebuah bonus bagi yang mampu meraihnya, mengingat hanya 18
persen remaja usia 18-23 tahun di Indonesia yang mampu merasakan pendidikan
tinggi. Dan di dalamnya tentunya ada si kaya, si miskin, si pintar, dan si
tidak pintar. Namun, sebutan kaya, miskin, pintar pada kalimat sebelumnya
hanyalah merupakan hirarki, yang memisahkan antara mana yang perjuangannya
lebih keras daripada yang lain. Akhirnya, daya juanglah yang akan menentukan
keberhasilan pendidikan tinggi bagi mahasiswa tersebut. Ingatan akan tujuan
awal kita menginjakan kaki di kampus kerakyatan ini. Dan impian untuk memakai
toga, dan di wisuda oleh almamater Gadjah Mada kiranya merupakan tujuan awal dan
akhir kita di sini, tanpa membedakan siapa kaya, miskin, dan pintar. Teringat perbincangan
dengan seorang teman, bahwa betapa beruntungnya kami bisa berada disini,
mengalahkan ratusan orang yang juga menaruh mimpi disini. Mungkin inilah
sebenarnya esensi dari gaung kampus perjuangan yang sering diperdengarkan
ketika orientasi. Bahwa tak penting lagi siapa kaya, miskin, pintar, bodoh. Itu
hanya membedakan seberapa keras perjuangan yang harus dilalui. Setelah itu,
semua sama. Sama sama dari nol, dan di akhir, daya juang kitalah yang
menentukannya.
“Perjuangan itu Seperti Air, Tak Pernah Tunduk Walau Dikekang, Tak
Pernah Berhenti, Berusaha, Mencari Jalan Keluar Terbaik Dari Apa Yang Menghambatnya,
karena dia, setia pada tujuan dia diciptakan, yaitu memberi kebermanfaatan bagi
semesta alam - Pepe”

0 comments:
Post a Comment