It’s
simple, setiap orang berhak memandang dirinya sendiri sebagai pribadi yang
menarik, sesuai dengan apa yang dia sukai. Dan aku menginginkanmenjadi aku yang brilian, dan kelak akan menjadi calon
pemimpin bangsa (amin ). Jangan kaget jika kelak, 20 tahun dari sekarang, anda
akan mengenal saya, bukan lagi melalui tulisan-tulisan dalam blog, atau melalui
media jejaring sosial seperti twitter, facebook, dan lain sebagainya. Namun, mungkin
anda semua akan menemuiku, ada di headline surat kabar, televisi, dan media
lainnya, sebagai orang baik tentunya, orang yang memperjuangkan berbagai
kepentingan, yang pertama, jelaslah untuk memperjuangkan nasib sendiri, karena
makan 3 kali sehari adalah modal awal untuk mampu berfikir dengan baik. Karena
kenyangnya perut akan menghindarkan kita dari rasa lapar, yang akan
mempengaruhi proses berfikir. Setelah itu barulah kita bisa memikirkan nasib
lingkungan, dan pada akhirnya, memikirkan nasib bangsa, agar terwujud kehidupan
yang lebih baik di masa yang akan datang .
Pengantar
yang cukup membosankan? Mungkin memang begitu bagi kalian, hehhe.
Okelah, just wanna introduce my self, namaku rizki putra perdana, namun, entah
kenapa dari nama itu, nickname aneh aneh pun muncul untuk ku, ada pepe, mbekix,
pelet, genter, rizki, dan beberapa sebutan aneh lainnya. Entah bagaimana
asbabul nuzul nya hingga nama-nama itu muncul.
Tapi apalah arti sebuah nama, it’s
up to you to call me with any word did you prefer. Aku tinggal dalam kesunyian
desa kecil di sebuah kabupaten yang terpencil, Kabupaten Gunungkidul. Cerita
orang orang menyebutkan, kalau daerah dimana aku dilahirkan adalah lumbung
kekeringan dan lumbung kemiskinan di Yogyakarta, walaupun aku tidak tahu apa sebenarnya
esensi kemiskinan itu, begitu pula dengan orang orang yang ada disekitarku. Semuanya
berjalan dengan sangat wajar. Tiap pagi ada yang ke sawah, “ngangon” kambing
atau sapi, dan pekerjaan orang desa lainnya. Mungkin karena aku dan mereka
berada dalam dimensi yang sama, dimensi kemiskinan. Sama seperti teori dimensi,
bahwa suatu obyek yang ada di dimensi yang rendah, tidak akan bisa membayangkan
seperti apa dimensi yang lebih tinggi. Suatu obyek yang berada dalam dimensi 3
(panjang lebar tinggi), tidak akan bisa membayangkan seperti apa wujud dari
dimensi empat (panjang, lebar, tinggi, sifat anonim), namun, suatu obyek yang
berada di dimensi 3 mampu mengimaging, bahkan merekonstruksi bentuk dari
dimensi 2 (panjang lebar). Begitu pula mungkin yang terjadi di lingkunganku,
dan aku khususnya. Karena kami berada dalam dimensi kemiskinan, maka kami tak
akan mampu melihat seperti apa sesungguhnya dimensi kemiskinan itu, kecuali kami
berada pada dimensi yang lebih tinggi, yaitu dimensi kekayaan.
Aku
lahir sebagai jawaban atas doa ayahku, dimana beliau sangat menginginkan anak
laki laki, setelah tiga usaha awalnya gagal menjawab ekspektasi beliau yaitu
kelahiran seorang anak laki laki. Ya, aku adalah anak ke empat dari empat
bersaudara, dengan ketga kakak ku adalah wanita. Memang, bagi masyarakat
patrelinear seperti orang jawa, khususnya daerahku anak laki laki adalah
dambaan, penerus mata rantai keluarga. Anak laki laki dianggap memiliki masa
depan yang lebih panjang dari seorang wanita. Seorang laki laki akan menjadi
tulang punggung keluarga, jika sang ayah telah dipanggil oleh yang kuasa. Seorang
anak laki laki tidak akan memperoleh masalah apapun andaikan dia segera menikah
di usaia produktif, karena usia matang seksual laki laki sangatlah lama, bahkan
hingga dia berusia lanjut. Sengat berbeda dengan wanita, yang usia aman untuk
hamilnya sangat terbatas, hanya berkisar antara 20-35 tahun. Dan yang pasti,
seorang laki laki adalah figur pemimpin, bagi dirinya sendiri, keluarga dan
lingkunga sekitarnya.
Aku
dibesarkan dalam lingkungan yang sangat kondusif. Letak rumah yang cukup jauh
dari pusat keramaian, membantuku untuk tetap tumbuh sebagai anak baik, tidak
neko neko, tetap jadi anak manis ketika
akan akan lain seusia ku sudah mulai mengenal dunia yang sebenarnya, yang kini
kutahu, sangatlah amburadul. Ayahku mendidik dengan keras, bekas pukulan dan
sabetan ikat pinggang kerap kali menghiasi tubuh kecilku. Menjadikan ku sangat
takut dengan ayahku. Namun memang, sabetan sabetan yang kurasakan ketika kecil,
membuatku menjadi orang yang lebih kuat dalam menjalani hidup, walaupun disisi
lain juga menjadikanku sebagai orang yang penakut, setidaknya hingga aku lulus
SD.
Kehidupan
masa kecil ku terbilang cukup bahagia, dengan teman teman masa kecil ku, kami
sering berpetualang, mbolang, naik gunung, dan lain sebagainya.Yang paling
berkesan adalah, pernah aku dan kawan kawan ku pukul lima pagi hari minggu,
berjalan jalan ke bukit di dekat kampungku, untuk melihat matahari terbit.
Pernah pula kami nekat main di sungai. Mengapa aku katakan nekat, karena sungai
adalah pantangan, larangan, dan tradisi buruk di kampungku. Berani menentang
larangan main di sungai, berarti sama sudah melanggar 3 nilai moral. Yang
pertama, kami telah melanggar tradisi, bahwa sangat pamali bagi anak kecil.
Kedua, kami telah mempertaruhkan nyawa kami sendiri, karena temat tinggal ku
berada pada hulu sungai terbesar di Gunungkidul, airnya deras dan berbatu.
Sehingga, jika musim penghujan tiba, sekali kami kehilangan pijakan bisa
dipastikan kami akan terseret beberapa kilo dari lokasi kami berenang, dan
ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa. Ketiga, Kami telah melanggar larangan
orang tua, dan inilah yang paling berat impact nya. Nilai moral pertama dan
kedua bisa langsung terlupakan ketika kami sudah “mentas” dari air. Namun,
tidak begitu dengan yang ketiga, karena sekali kita ketahuan mandi di sungai,
maka berbagai macam siksaan, mulai dari sabetan ikat pinggang hingga “cocolan”
bara rokok, siap mendarat ke tubuh kami,. Dan nyatanya itulah yang terjadi pada
kami. Dan nyatanya, memang pada dasarnya anak kecil, walaupun sudah berkali kali
ketahuan dan menerima berbagai macam ssiksaan macam itu, kami tetap saja mengulanginya,
lagi dan lagi. Cause everything we feels
when we was child, it could be the sweetest one in our live.
This’s
a recount, and my imagination went through my mind.
There’s
a way, for every word you said. And only you, which can make a direction for
every words you said. Is that bring to be inspire, or be mislead. - Pepe
(To
Be Continue)
tes dehh
ReplyDelete