Membangun Paradigma Nuklir : Cerita Tentang Kehancuran, atau Jalan Menuju Kemakmuran



Membangun Paradigma Nuklir : Cerita Tentang Kehancuran, atau Jalan Menuju Kemakmuran
Ditulis Oleh : Rizki Putra Perdana

Judul diatas mungkin terkesan sedikit provokatif bagi para penggiat teknologi nuklir di Indonesia. Saya sadari itu, karena memang judul tersebut mencerminkan sesuatu yang sangat kontras terhadap berbagai usaha pemakluman pada masyarakat. Sebuah usaha untuk mengubah paradigma masyarakat yang relatif buruk terhadap nuklir. Sebuah pemakluman untuk membuka mata masyarakat, bahwa dengan teknologi nuklir yang saat ini sudah sangat canggih, nuklir relatif aman untuk dikembangkan di Indonesia. Saya sendiri sebagai bagian dari orang-orang yang beruntung karena dapat menjadi bagian dari lingkungan intelektual kampus, sangat mendukung pengembangan teknologi nuklir di Indonesia. Mengingat dengan pemanfaatan teknologi nuklir, dapat di peroleh berbagai macam manfaat, baik itu di bidang energi, hankam, atau kesehatan. Namun, kembali pada judul diatas, mungkin anda dan setiap orang di Indonesia akan mendapatkan cerita yang sama. Sebuah cerita yang anda dengar sesaat setelah anda mendengarkan kata nuklir untuk pertama kali, yaitu sebuah cerita, cerita tentang kehancuran.
Terdapat banyak sekali alasan dari orang-orang yang menolak program nuklir di Indonesia. Dan sumber dari segala bentuk penolakan tersebut barangkali adalah karena adanya stigma negatif masyarakat Indonesia sendiri terhadap kata nuklir. Kita lihat, setiap ada wacana untuk mendirikan sebuah reaktor nuklir di suatu wilayah, entah mengapa pasti selalu ada penolakan. Alasan penolakan pun relatif sama, yaitu mereka takut suatu saat nuklir itu meledak. Penolakan lalu juga akan muncul dari LSM-LSM yang menyuarakan penyelamatan lingkungan, tentunya dengan alasan yang lebih terkesan intelek. Mereka akan berbicara tentang radiasi, kebocoran, dan pengalaman-pengalaman buruk tentang nuklir seperti tragedi Cherynobyl, Fukushima dan bom atom Hiroshima dan Nagasaki. Banyak pula yang meragukan kualitas sumber daya manusia di bidang teknologi Nuklir, disusul dengan pemaparan kondisi geologis di Indonesia, dimana Indonesia adalah lokasi pertemuan tiga lempeng benua. Menyebabkan Indonesia menjadi lokasi yang relatif rawan gempa. Dan setelah semua alasan tersebut diutarakan, akhirnya semua mengkerucut pada satu alasan utama, yaitu kesiapan sumber daya manusia Indonesia di Bidang Teknologi Nuklir -menurut mereka yang menolak- belum memadai untuk setidaknya membangun sebuah PLTN.
Sebab dari munculnya alasan diatas mungkin dikarenakan trauma akan kejadian sejarah. Sejarah menunjukan bahwa beberapa pemanfaatan nuklir diarahkan untuk sesuatu yang merusak, seperti pembuatan bom atom, senjata pemusnah massal, dll. Selain itu, kecelakaan nuklir yang terjadi di negara-negara yang teknologinya dianggap relatif lebih maju dari Indonesia juga menjadi alasan bagi orang orang untuk mengatakan “Wong Rusia aja bisa meledak, apalagi di Indonesia” atau “Orang jepang yang teknologinya sudah sangat canggih saja masih bisa meledak, apa lagi di Indonesia”. Pernyataan-pernyataan itu seakan menjadi pembenaran akan keraguan mereka terhadap kualitas SDM nuklir di Indonesia.
Berkaitan dengan permasalahan SDM Indonesia di bidang nuklir, saya pribadi tidak setuju bila ada yang mengatakan bahwa SDM nuklir Indonesia itu tidak kompeten. Saya yakin, banyak profesor-profesor di kampus-kampus seperti UGM, UI, dan ITB, adalah orang-orang yang sangat ahli di bidang nuklir. Bukan hanya ahli menurut orang Indonesia, namun mereka juga mendapat pengakuan dari dunia internasional atas kompetensi mereka di dunia nuklir. Dari UGM saja kita sudah memiliki Seseorang seperti Dr. Andang, yang merupakan ahli fisika neutron, atau Ir. Kutut yang merupakan salah satu anggota World Institute for Nuclear Security (WINS). Kita juga memiliki seseorang seperti Ir. Yudi, seorang ahli nuklir yang merupakan penemu Kontainer Limbah Nuklir Generasi Baru, dan kini telah menjabat sebagai Direktur Utama PT Batan Teknologi. Beliau bersama Ir. Kusnanto yang juga dari UGM berhasil menemukan sebuah formula baru –yang belum dikenal dunia- untuk melakukan pengayaan uranium tingkat rendah dalam produksi radioisotop, setelah pengayaan uranium tingkat tinggi untuk produksi radioisotop dilarang oleh Badan Pengawas Energi Atom Dunia (IAEA), padahal radioisotop sangat dibutuhkan di dunia kesehatan. Sedangkan dari ITB, kita memiliki Prof Zaki Su’ud, penemu desain reaktor nuklir generasi baru, yang desainnya lebih canggih dari semua reaktor nuklir yang saat ini beroperasi.
Pendidikan untuk mencetak ahli-ahli nuklir di Indonesia juga terus dilaksanakan, mengingat generasi muda lah yang di masa depan memiliki tanggung jawab untuk mengelola pos-pos energi nuklir di indonesia. Saat ini Indonesia adalah satu dari dua negara di Asia Tenggara yang menyelenggarakan pendidikan Teknik Nuklir, dengan Universitas penyelenggara adalah Universitas Gadjah Mada, dan Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir, keduanya ada di Yogyakarta. Sedangkan negara lain di Asia Tenggara yang menyelenggarakan pendidikan Teknik Nuklir adalah Chulalangkohrn University, Thailand. Universitas seperti UI, dan ITB juga menyelenggarakan pendidikan Ilmu Nuklir. Kenyataan tersebut dapat menjadi fakta, bahwa sebenarnya sumber daya manusia Indonesia di bidang Nuklir sudah mumpuni, tidak kalah, bahkan mungkin lebih unggul dari negara-negara lain yang di pandang lebih maju.
Pemikiran yang cerdas di awali dari pendidikan yang berkualitas, dan pendidikan yang berkualitas seharusnya memicu kemajuan teknologi dari suatu bangsa. Lalu, mengapa Indonesia sangat sulit untuk mengembangkan teknologi nuklir dengan setidaknya membangun sebuah PLTN saja? Dengan fakta-fakta fakta yang telah di jabarkan sebelumnya, dengan kualitas SDM yang seharusnya sudah mampu mengembangkan teknologi nuklir di Indonesia. Dan dengan sedikit menyinggung judul diatas, mungkin jawabannya ada pada cerita yang telah kita dengar. Bahka mungkin, jawabannya ada di setiap buku sejarah kita.
Indonesia adalah negara yang sangat besar, dengan lebih dari 250 Juta Penduduk, menjadi sebuah negara dengan dinamika yang sangat kompleks, dengan berbagai permasalahan yang ada di dalamnya. Jumlah penduduk yang sangat besar dan tersebar menyebabkan aksesbilitas akan pendidikan juga berbeda-beda. Sudah sering saya mendengar, bahwa mahasiswa adalah sebuah golongan kecil dari banyaknya pemuda Indonesia usia produktif antara 18-24 tahun. Karena kenyataannya hanya 18%  saja pemuda Indonesia dari golongan usia tersebut yang memiliki akses ke pendidikan tinggi (Republika). Dari kenyataan tersebut, jika kita menganggap hanya orang yang memiliki akses ke pendidikan tinggi lah yang mampu berfikir kritis dan sistematis serta memiliki ketertarikan terhadap isu-isu yang berkaitan dengan teknologi nuklir serta berbagai permasalahannya. Golongan tersebut yang diharapkan mampu melihat permasalahan nuklir Indonesia dari berbagai sudut pandang, berarti hanya golongan itulah yang sepenuhnya memahami permasalahan nuklir di Indonesia. Lalu, bagaimana dengan ratusan juta yang lain? Kembali lagi, jawabannya ternyata ada di buku sejarah kita.
Indonesia adalah negara yang menerapkan sistem wajib belajar 9 tahun. Dimana dengan sistem ini, pendidikan dasar dan menengah menjadi tanggungjawab negara untuk menggratiskan biaya pendidikan pada jenjang ini. Hal ini memang memberikan manfaat bagi masyarakat, karena pendidikan dasar dan menengah menjadi lebih terjangkau. Namun hal ini juga memberikan ekses negatif bagi si siswa. Ekses negatif yang di karenakan ketidakdalaman materi yang tersampaikan, materi setengah-setengah yang menyebabkan setengah-setegah pula yang diterima oleh sang anak didik. Dan sialnya, apa yang di bawa selama masa sekolah itu akan terus dibawa sampai anak itu tua.
Kenapa saya bisa berkata seperti itu? Hal itu karena memang kenyataan yang saya temui di lapangan memang seperti itu. Dari perbincangan dengan seorang teman, dia mengatakan bahwa memang penolakan-penolakan yang muncul dari masyarakat adalah karena rendahnya pemahaman masyarakat sendiri terhadap teknologi nuklir. Jika kita kembali pada model diatas dimana hanya 18% saja orang yang memiliki aksesbilitas terhadap pendidikan tinggi, maka pemahaman sebagian besar pemuda Indonesia yang lain selain dari angka 18% diatas, kemungkinan besar adalah pemahaman terhadap apa yang dia dengar saat dia mendapat pelajaran di sekolah dasar, menengah, dan atas. Pada sekolah dasar, kata nuklir mungkin akan didengar pada saat anda mempelajari sejarah perang dunia ke-dua, di detik-detik menjelang menyerahnya Jepang kepada sekutu. Anda akan mendapatkan pengetahuan bahwa dua bom yang di gunakan untuk meledakan kota Hiroshima dan Nagasaki adalah Bom dengan teknologi nuklir, atau istilah lainnya adalah Bom Atom. Dengan tanpa bekal lain selain pelajaran sejarah tersebut, maka setiap anak SD, jika ditanya tentang “Apa itu nuklir?”, maka kemungkinan terbesar dari jawaban mereka adalah “Bom Atom”, atau hal lain yang relevan dengan hal itu.
Menginjak usia SMP dan SMA, maka sang anak akan mulai mengenal pelajaran fisika dan matematika secara lebih mendalam. Anak-anak mulai memahami apa yang disebut reaksi fisi dan fusi nuklir, dimana dengan gambaran awal mengenai bom atom yang mereka dengar saat SD, seorang siswa SMP dan SMA akan mulai mengasosiasikan antara energi hasil fusi atau fisi nuklir dengan bom yang pernah mereka dengar saat massa SD mereka. Dan dengan pengalaman awal mereka, yaitu pengetahuan dasar mereka bahwa nuklir digunakan untuk membuat bom, maka dengan rumus fisika dan kalkulasi matematis, maka seorang siswa SMP atau SMA akan mengetahui bahwa energi yang dilepaskan dari sebuah reaksi nuklir sangatlah besar Dan jika hal itu diterapkan pada bom, maka bom itu akan memiliki daya ledak yang sangat sangat tinggi. Cukup untuk meledakan sebuah kota menjadi puing-puing, dan memusnahkan peradaban yang ada di dalamnya hanya dalam hitungan menit. Sampai disini, dengan kemampuan logika seorang anak SMA, tentu anak SMA akan dengan sangat mudah menyimpulkan bahwa, nuklir adalah sesuatu yang merusak. Karena nuklir dapat dibuat menjadi bom dengan kekuatan ledakan yang bisa meledakan sebuah kota dalam tempo hitungan menit.
Pengetahuan tentang nuklir memang perlu untuk para siswa yang sedang mengenyam pendidikan tingkat dasar dan menengah. Namun, dengan sistem yang sekarang ini, dengan aksesbilitas akan pendidikan tinggi yang masih rendah, agaknya apa yang diajarkan oleh buku-buku paket di sekolah dasar dan menengah ibaratnya menjadi bumerang untuk kemajuan teknologi di Indonesia. Segala bentuk pemakluman agaknya menjadi sulit di lakukan, karena memang apa yang menjadi pengetahuan setiap orang tentang nuklir adalah berdasarkan pengalaman mereka pada jenjang sekolah, apalagi ditambah pengaruh media massa yang terkesan selalu meletakkan nuklir pada posisi yang buruk. Ya, posisi yang buruk karena dalam setiap pemberitaan tentang nuklir lebih sering menyangkut berbagai isu dunia mengenai program nuklir yang dilakukan oleh negara negara maju, yang disinyalir dapat memicu terjadinya perang dunia. Menjadikan mindset “bom” pada nuklir menjadi semakin kuat.
Memang jika bangsa ini ingin maju, maka bangsa ini harus membuka diri terhadap teknologi. Mungkin bangsa ini terlalu takut dengan berbagai potensi buruk dari nuklir itu sendiri, yang akhirnya membuat bangsa ini menjadi terlalu takut akan pengembangan teknologi nuklir. Membuat sebagian besar rakyat Indonesia menerima nuklir juga bukan perkara mudah, mengingat mindset “bom” itu juga telah melekat di pikiran sebagian besar orang Indonesia. Program nuklir Indonesia harus merupakan program jangka panjang yang direncanakan dari hal yang paling dasar, yaitu perbaikan informasi tentang nuklir dalam pendidikan kita. Pengetahuan tentang perang dunia itu penting, namun pengetahuan tentang terpenuhinya kebutuhan listrik berkat pembangunan reaktor nuklir itu juga penting. Pengetahuan tentang potensi radiasi nuklir yang membahayakan kesehatan itu penting, namun pengetahuan tentang berbagai aplikasi nuklir di bidang kesehatan seperti pengobatan kanker, penyakit jantung, dan penyakit kronis lain juga penting. Justru seharusnya hal-hal baik itulah yang di tonjolkan dari kata nuklir, bukan tentang bagaimana dia merusak, namun tentang bagaimana dia menyelamatkan jutaan hajat hidup manusia.
Teknologi nuklir agaknya merupakan salah satu indikator kemajuan teknologi di sebuah negara. Ingin sekali saya, suatu saat dalam hidup saya menyaksikan sebuah reaktor nuklir berdiri di Pegunungan Muria, di Bangka, atau di Bontang. Menyaksikan kegagahan kita dalam menguasai IPTEK nuklir di akui bangsa lain. Dan yang paling penting, ketika itu semua sudah terwujud, ingin rasanya saya mendengar dari anak cucu saya, sebuah cerita tentang wajah baik dari nuklir. Sebuah cerita dimana nuklir menyelamatkan banyak nyawa, memasok kebutuhan energi dunia, dan hal-hal baik lainnya. Bukan cerita-cerita seperti bom atom, senjata pemusnah massal, atau cerita cerita lain yang saya dengar ketika saya kecil, saat pertama kali saya mendengar kata nuklir.






18 comments:

  1. Memang jika bangsa ini ingin maju, maka bangsa ini harus membuka diri terhadap teknologi.

    ReplyDelete
  2. Semacam kecelakaan pesawat, kan kecelakaan tu kecil perbandingannya daripada tingkat keberhasilan menerbangkan penumpang. tapi kalo ada kecelakaan, beritanya masif banget di media. bayangin aja kalo nuklir, nyawa yg dilibatkan lebih banyak jg kan klo terjadi kecelakaan? gimana ya upaya minimalisasi kecelakaan nya? ya buat starter dibangunlah di daerah yg ga rame penduduk :) man eman jg sih lingkungannya..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya sih, tapi setiap reaktor nuklir sudah ada sistem keselamatannya, juga pengalaman dari berbagai kecelakaan nuklir itu karena human error atau kegagalan sistem robotic. Seperti kasus fukushima itu setelah di lakukan investigasi ternyata penyebab kebocoran itu karena human error -mungkin karena panik cz sedang ada tsunami- ,

      indonesia sendiri udah punya 2 reaktor nuklir lho, yang satu di Serpong, yang satunya lagi di Babarsari Jogja, hayoo, betapa kita ada sangat dekat dengan lokasi reaksi nuklir berlangsung

      Delete
    2. Oiya, kalo aku kuliah, sumber radiasi hanya sekitar 20 meter dari kelas ku, nyatanya saya masih hidup :p

      Delete
  3. sebenarnya tidak ada alasan untuk menolak pendirian PLTN di Indonesia.. krn di Indonesia masih banyak wilayah" yang tergolong aman dari bencana.. yang tidak terlalu jauh dari pulau jawa.. cth. P. Madura dan P.bangka.. dan masih bnyk lagi..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Setujuu, , , gampangnya gini, orang malaysia aja mau bikin PLTN. Lhaa, kalo meledak, paling tidak sumatra sama kalimantan, bahkan mungkin Jawa juga bakalan kena imbas juga.

      Mungkin memang orang indonesia yang mindset nya sudah jelek tentang nuklirr

      Delete
  4. Kenyataan itu saya alami sendri di daerah saya. Kebanyakan anak anak di daerah saya adalah anak putus sekolah, hanya sampai smp. lha itu kalo di tanya nuklir, ya tau nya mereka bom hiroshima

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya memang begitu mas, , , tambah lagi daerah daerah seperti pulau bangka, madura, dan tempat tempat lain yang menjadi calon lokasi adalah daerah yang relatif tertinggal, jelas saja masyarakat menolak

      Delete
  5. Mantaaappppss...
    Lanjutkan...
    Terus berkarya *_*

    ReplyDelete
  6. wah kalo di indonesia ada PLTN mantep juga, tarif dasar listrik bisa berkurang dan perekonomian masyarakat bisa semakin maju. tapi untuk mengatasi LSM yg demo juga bakalan repot tuh he he he

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahahaha, namanya juga LSM, maksud mereka baik, tapi ya karena orang2 seperti itu yang menyebabkan indonesia gak maju maju. Pengennya mereka indonesia Hijau, kalau hijau, yaudah indonesia kembali aja ke jaman batu ;)

      Sepengetahuan saya, dari beberapa kali browsing gitu, Dengan membangun beberapa PLTN dengan daya 1000 megawatt, bisa menghemat pengeluaran negara sampai 50 triliun, lha itu baru dah duit nya d bikin buat nanem pohon, terus sisanya buat nyekolahin ahli nuklir lokal, biar resiko kecelakaan dapat ditekan seminimal mungkin karena anak anak bangsa udah ahli kalo suruh utak atik nuklir ^_^

      Delete
  7. Kalau memang ingin maju, maka jalan ini adalah jalan yang harus ditempuh. Karena memang semua yang memiliki keuntungan tinggi pasti akan memiliki resiko yang tinggi pula :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yupp, setuju sekali sama mas philip, setiap pencapaian besar memang mengandung resiko. ^_^ , kalo masalah radiasi, setiap hari kita di bombardir juga kok sama radiasi kosmik

      Delete
  8. Menurut mas Rizki, dimana kiranya tempat terbaik untuk membangun PLTN di Indonesia, mengingat Indonesia di daerah Ring of Fire.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ring Of Fire bukan hanya ada di Indonesia saja. Ring Of Fire membentang dari pegunungan Rocky di amerika, memanjang ke Alaska, melewati kepulauan aleut, sepanjang pesisir jepang dan berakhir di Kepulauan Maluku. Jelas dari situ bisa dilihat bahwa Indonesia sangat rawan gempa. Namun kita bisa belajar dari Jepang dan amerika. Disana banyak terdapat PLTN, palagi di Jepang yang hampir setiap hari di guncang gempa, mampu membangun beberapa reaktor nuklir, Berarti memang sudah ada sebuah sistem keselamatan sebagai antisipasi terjadinya gempa. Bahkan (kata dosen saya) saat tragedi fukushima, setelah di lakukan investigasi, faktor human error lah yang kemungkinan besar menyebabkan meledaknya Reaktor Nuklir tersebut. Jadi secara teknologi, mau di bangun di manapun tidak masalah, asal sumber daya manusia nya handal. tapi kalau di tanya tempat terbaik dengan asumsi bahwa orang Indonesia takut kalau gempa, reaktor nuklir bisa meledak, saya mengusulkan di pulau Bangka, kepulauan Karimunjawa, Kepulauan Bintan, Atau di Kalimantan, mengingat daerah daerah tersebut relatif jauh dari titik titik rawan gempa, dan apabila terjadi Tsunami di wilayah samudera pasifik/hindia, daerah tersebut relatif aman karena terlundung oleh pulau pulau besar di sekitarnya.

      Delete
  9. Terimakasih atas kontribusi teman teman semua dalam mempromote tulisan ini. Saya harap dengan adanya tulisan ini, dapat membuka mata semua pihak yang membaca, bahwa untuk mencapai suatu yang besar itu tidak dengan proses instan, tanpa usaha yang keras. namun sebuah pencapaian besar dapat diperoleh dengan perencenaan dari detil detil yan kecil, dan menyeluruh, bukan hanya masalah teknis saja, melainkan aspek ekonomi dan psikososial juga harus sangat diertimbangkan. Sukses Program Nuklir Indonesia 2025

    Salam, Peserta #NYS2013
    Rizki Putra Perdana

    ReplyDelete