Memahami Negeri, Memahami Berbagai
Dimensi
Ditulis
Oleh : Rizki Putra Perdana
Ketika
aku berfikir tentang negeri ini, entah mengapa selalu ada sesuatu yang mengganjal
dalam benak ku. Aku berfikir tentang apa yang akan menjadi tanggungan ku kelak.
Bukan tanggungan lebih tepatnya, melainkan sebuah kepastian akan suatu hal,
yaitu suatu kewajiban yang harus ku tunaikan ketika aku telah banyak
mendapatkan “sesuatu” dari negeri ini. Kewajiban? Ya, kewajiban. Kewjiban yang
menghasilkan beribu pertayaan dalam diri ini. Pertanyaan, yang jawabannya ada
dalam diriku sendiri.
Seringkali
ku berfikir tentang negeri ini. Aku berfikir tentang apa yang kini terjadi di
suatu sudut negeri ini, di seberang sana. Berfikir tentang anak-anak yang
bermain layangan di pesisir pantai Pulau Rote. Berfikir tentang bagaimana
mereka menghabiskan waktu. Mereka bersenang-senang, bercanda, tertawa bersama,
tanpa mereka menyadari bahwa tempat mereka tinggal adalah salah satu lumbung
kemiskinan di negeri ini.
Kemiskinan
bukanlah masalah, dengan kondisi kehidupan mereka yang relatif homogen. Kata miskin
seolah tak pernah ada dalam kamus mereka. Semuanya terjadi karena kesamaan yang
mereka alami, dimana mereka tak melihat sesuatu yang mereka nilai lebih
berharga dari apa yang telah mereka miliki saat ini.
Memahami
mereka bukanlah perkara membalik telapak tangan. Sesuatu yang kita anggap
sebagai kekurangan nampaknya merupakan sesuatu yang normal bagi mereka. Meminta
suku di pedalaman papua untuk menggunakan baju dari kain tentu bukanlah hal
yang mudah. Karenanya, memaksakan perubahan bukanlah sebuah jalan yang bijak.
Karena sejatinya, kita berada pada dimensi yang berbeda dengan mereka.
Kembali
pada pikiranku, letak ganjalan itu ternyata terletak disini. Terletak pada
kepantasan kita untuk menggunakan kata miskin bagi orang orang seperti itu.
Mereka sejatinya mereka tidak pernah menganggap diri mereka miskin, karena tak
ada sesuatu yang lebih berharga dari apa yang mereka miliki saat ini. Sesuatu
yang berharga yang pantas mereka sebut dengan sebutan “kaya”.
Mungkin
suatu saat, ketika aku telah tumbuh lebih dewasa, sebuah ksempatan untuk
mengujungi dimensi itu akan tiba. Dimensi dimana kata miskin tak pernah di
ucapkan. Dimensi dimana terdapat sebuah hal yang berharga. Sebuah dimensi,
dimana kilau permata itu tak nampak lagi berharga.
4 Mei 2013
Sepenggalah Matahari si Ufuk Barat
Rektorat UGM
0 comments:
Post a Comment