Dalam kerendahan hati ada ketinggian
budi. Dalam kemiskinan harta ada kekayaan jiwa. Dalam kesempitan
hidup ada kekuasaan ilmu – Anonim
------------------------
Malam
ini, tidak, lebih tepatnya dini hari ini, mataku masih tersadar. Entah karena
efek minuman energi yang tadi pagi ku minum atau karena hal lain, yang jelas
hingga saat ini mata tak kunjung terpejam. Mengakhiri hari ini untuk kemudian
beristirahat, dan menyambut hari esok beserta cerita-cerita lainnya seperti
yang sudah sudah. Kesulitan tidur membawaku untuk memikirkan banyak hal. Mulai
dari hal hal kecil seperti kejadian-kejadian menarik saat kuliah, atau hal-hal
yang membuat hati ini tersentuh, bahkan terluka. Dan akhirnya, pikiranku melayang
tentang pengalaman dua minggu lalu, dimana aku, dengan mata kepalaku
menyaksikan betapa masih banyak orang yang hidupnya tak layak. Untuk pertama
kalinya aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, orang-orang yang menghabiskan
sisa hidup mereka bersama sampah sampah. Bukan, bukan hanya menghabiskan sisa
hidup bersama sampah-sampah, namun mereka juga menggantungkan hidup dari
sampah. Ya, sampah sampah itu.
Pemandangan
itu selayaknya bukanlah sesuatu yang asing bagi ku. Namun selama ini aku hanya
menyaksikan pemandangan itu di media cetak ataupun elektronik. Sebulan sudah
aku berada di kota besar ini, dan wawasanku akan bangsa ini ikut pula
bertambah. Betapa bangsa ini masih banyak ber-hutang pada rakyat nya. Betapa
bangsa ini masih sering ingkar janji pada rakyatnya sendiri. Semua itu
terpampang jelas di sini, di lokasi dimana seharusnya tak ada lagi kesenjangan
antara si miskin dan si kaya.
Ironis,
pemandangan kontras itu hanya terpisahkan oleh sebuah tembok tinggi. Tembok
yang memisahkan tembok antara kaum proletar dan borjuis. Sama halnya dengan
tembok berlin, tembok yang melambangkan hegemoni liberal dan komunis dengan
panji panji kekuasaan mereka masing masing. Liberal dengan kekuatan ekonomi,
monopoli pasar oleh konglomerat, di sandingkan dengan kekuatan komunis dimana
semua adalah sama, tak ada hak milik pribadi, proletar di angkat sama rata
sebagaimana orang yang lain. Semua itu hanya dipisahkan oleh tembok sepanjang
165 kilometer dan tinggi 3.5 meter. Sekarang tembok itu telah runtuh, namun simbol-simbol
seperti itu masih sering kita jumpai di sekitar kita.
Dan
kenyataan itu ku temukan disini. Melihat anak orang kaya bermain dengan sepeda
serta skuter mereka, menyusuri jalanan komplek. Lalu sejurus kemudian, ketika
wajah terpaling ke sisi yang lain, anak anak berpakaian kusut sedang bermain
bola di dekat tempat pembuangan sampah. Mungkin mereka belum mengerti arti
proletar ataupun borjuis. Yang mereka mengerti mungkin adalah bagaimana cara
untuk memperoleh kebahagiaan masa kecil, tentunya dengan cara yang berbeda.
Ketika
aku disempatkan untuk turut serta menyentuh satu sisi kehidupan anak anak
proletar itu, rasanya ingin menangis. Aku bertanya pada diri sendiri, apakah
yang sudah ku berikan untuk orang orang seperti mereka. Tak lupa rasa syukur ku
pada yang kuasa, bahwa ternyata ada yang kehidupannya jauh lebih tidak layak
dariku. Aku dianugrahi kehidupan yang luar biasa oleh Allah. Keluarga, sahabat,
ilmu, kecerdasan, semuannya menjadi nikmat yang luar biasa bagiku. Namun,
berjalan menyusuri tembok pembatas ini setinggi 3 meter yang menjadi pembatas
antara rumah rumah elit yang menjadi simbol kemapanan, dengan tanah lapang yang
seperempatnya sudah tertimbun sampah telah membuka mataku, bahwa sesungguhnya
di negeri ini masih banyak orang orang yang harus dibebaskan dari kemiskinan.
Sebuah fakta yang sering terlupakan oleh orang-orang yang sudah terbiasa hidup
nyaman. Seperti yang selama ini ku alami.
Tak ada alasan bagiku
untuk tak turut serta memenuhi panggilan ini. Masih banyak orang-orang yang
butuh, serta haus akan ilmu. Ya,ilmu pengetahuan seakan menjadi pelepas dahaga,
serta harapan bagi mereka untuk memperoleh hidup yang lebih layak daripada
hanya mengais sisa-sisa botol bekas di tengah bau busuk sampah. Jika kita
kembali pada apa yang sebelumnya telah di tuliskan, bahwa masih banyak
hutang-hutang bangsa ini pada orang orang seperti mereka. Mereka sudah
selayaknya mendapatkan penghidupan yang labih baik, agar tembok yang menjadi
batas tak lagi mencerminkan status ekonomi, antara proletar dan borjuis.
Satu
lagi hal yang ku cari, kutemukan disini. Tentang sebuah arti kehidupan, dimana
rasa sukur haruslah selalu terpanjatkan pada yang maha kuasa. Satu sisi yang
terlalu sering kita lihat adalah sebuah sisi yang membutakan kita. Membuat kita
lupa untuk memalingkan muka ke sisi yang lain dimana sisi kehidupan yang lain
berada. Yaitu kehidupan yang telah lama terlupakan, yang menunggu disentuh
namun hati ini tak terlalu peka untuk menyambut penantian mereka. Penantian
yang mungkin akan memberikan secercah harapan kehidupan yang lebih baik bagi
mereka, atau bagi anak-anak mereka.
Refleksi Pengalaman
Mengajar Bersama Bambu Pelangi, 12 Oktober 2013.
Rizki Putra Perdana
0 comments:
Post a Comment