Cerbung : Bunga Pertama (2)

Dia jauh, Kenapa????

Beberapa hari ini mood belajar ku turun. Ahh, ini tak bisa di biarkan. Aku sudah banyak bertaruh disini. Meninggalkan zona nyaman, untuk menggapai asa yang lebih besar lagi, yaitu memenuhi impian ku yang dulu nyaris tak mungkin ku raih. Dan kenapa di saat saat seperti ini, semangat untuk belajar tiba tiba hilang begitu saja. Ahh, jangan, jangan lagi kejadian yang sudah-sudah terulang lagi. Wanita?? Oh men, plis jangan sekarang. Entah kenapa wanita selalu menjadi batu sandungan buat ku. Mengacaukan motivasi yang sudah susah payah ku bangun dengan pertaruhan yang sangat banyak.

“Kalau ada waktu, kita kesini lagi ya”, Fitri menutup pembicaraan.

Ya, sore ini aku dan Fitri menghabiskan sore bersama. Dan seperti biasa, aku tak banyak bicara. Selalu dia yang memulai pembicaraan. Apapun itu, aku selalu berusaha menjadi good listener untuknya. Beginilah jika aku berada pada situasi yang tidak formal bersama seorang wanita. Diam, hanya diam. Berbeda jika aku dihadapkan dengan teman teman lelaki ku, aku bisa sangat ekspresif, banyak omong, suka bercanda. Membuatku menjadi orang yang di senangi sekaligus disegani karena entah kenapa, secara kematangan berfikir, aku selalu bisa memposisikan diri sebagai orang dewasa di hadapan teman teman lelakiku. Namun, jika sudah di hadapkan pada wanita, segala canda riang tawa ku,  lenyap tak berbekas.

“Emh. . .” Ku jawab tanpa membuka mulut. Hanya mengangguk dan bersuara seadanya. Ku pikir itu cukup untuk menjawabnya. Dan dia pun hanya tersenyum, menganggukan kepala, lalu berlalu. Oh tuhann, apa inii. Perasaan yang selama ini selalu menjadi perasaan yang ku benci. Ya, aku mulai menyukainya. Gadis periang itu sudah mengait hati ku. Namun aku sama sekali tak suka dengan perasaan ini. Aku selalu menganggap hal ini sebagai sebuah siklus, dimana jika aku menyukai seorang wanita, maka satu atau dua bulan rasa itu akan hilang. Yang paling ku benci dari perasaan ini adalah ketidakmampuan ku untuk menyampaikan ini padanya, karena aku diam. Selalu diam, saat berada di dekatnya.

Ah, ini kekanak kanakan sekali. Aku mulai takut untuk berbicara lagi. Ah, selalu begini. Mungkin aku terlalu takut untuk sekedar menatap matanya. Menatapnya pun ku hanya berani dari balik jilbab panjang nya. Ah, sedih sekali, setiap kali hal seperti ini terjadi, selalu. Melihatnya berlalu dari sela sela kerumunan orang lah satu-satunya obat ku. Tak berani ku menatapnya, kupalingkan muka saat pandangannya terarah padaku. Ah, menyiksa sekali. Kuharap segera ada laki laki lain yang mendekatinya, agar tak ada lagi alasan untuk tetap berharap padanya.


          Dan Tuhan pun menjawab doaku, bahkan sebelum aku mengamininya


(Bersambung)

0 comments:

Post a Comment